welcome to my blogg

Sabtu, 11 Desember 2010

KITO-OLIGOSAKARIDA

Pengertian

Kitosanase adalah enzim kitinolitik yang terlibat dalam produksi kitooligosakarida yang lebih larut air dan berguna dalam berbagai bidang seperti nutrasetikal, medik, dan farmasi. Isolat T5a1, salah satu isolat kitinolitik yang diisolasi dari terasi, ditumbuhkan pada medium minimal sintetik (MSM) dengan penambahan 0,5% koloidal kitin pada 37oC, 100 rpm, di inkubator goyang selama 24 jam untuk produksi kitosanase. Kitosan adalah suatu bahan yang dapat diperoleh dari cangkang eksoskeleton. Kitosan telah terbukti bersifat natural, tidak toksik, dapat diuraikan (biodegradable) dan dimanfaatkan secara luas dalam industri pangan sebagai food additive.

Sumber

Bakteri kitinolitik yang mendegradasi kitin dan turunannya telah banyak diisolasi dari berbagai sumber seperti tanah, spons dan limbah udang dan rajungan. Sumber lain yang diduga potensial untuk isolasi bakteri kitinolitik adalah terasi yang merupakan produk fermentasi berbahan baku rebon. ( Dewi Seswita Zilda, Yusro Nuri Fawzya dan Ekowati Chasanah, 2006 ).

Kitosanase (EC 3.2.1.132) dapat diproduksi oleh berbagai mikroorganisme seperti kapang, actinomycetes, dan bakteri. Mereka umumnya adalah enzim endo splitting dan dapat menghidrolisis kitosan menjadi kitooligosakarida dan glukosamin. Kemampuan untuk menghidrolisis ikatan bglukosaminidat (GlcN) dan N-acetyl- b-glukosaminidat (GlcNAc) pada kitosan berbeda pada tingkat deasetilasi tergantung pada jenis mikroorganisme penghasil kitosanase (Chiang et al., 2002).

Beberapa mikroba penghasil kitosanase di antaranya adalah Myxobacter (Hedges & Wolfe, 1974), Penicillium (Fenton & Eveleigh, 1981), Nocardia(Sakai et al., 1991), Pseudomonas (Yoshihara et al., 1992), Streptomyces (Bocher et al., 1992), Mucor (Alfonso et al., 1992), Fusarium (Shimosaka et al.,1993), Enterobacter (Yamasaki et al., 1993), Amycolatopsis, Rhodorotula (Shomasekar & Joseph, 1996) Trichoderma (Nogawa et al., 1998), Matsuebacter (Park et al., 1999), Bacillus ( Kurakake et al., 2000; Omumasaba et al., 2000), Burkholderia (Shimosaka et al., 2000), dan Aspergillus (Cheng & Li, 2000).
Beberapa sumber kitinolitik bakteri yang pernah diteliti adalah udang (Putro, 1982), tanah (Zhu et al., 2003; Choi et al., 2004), air laut dan sedimen sumber air panas (Chasanah, 2004) serta spons (Uria & Chasanah, 2005). Sumber lainnya yang potensial sebagai sumber bakteri kitinolitik adalah terasi. Bahan bakunya yang berupa jebret (udang kecil atau yang lebih dikenal dengan rebon) banyak mengandung kitin. Salah satu isolat potensial hasil skrining adalah T5a1 (Zilda & Chasanah, 2005) yang akan dikarakterisasi untuk aplikasi lebih lanjut. ( D.S. Zilda, Y.N. Fawzya dan E. Chasanah 2006 )

Kitosan adalah produk terdeasetilasi dari kitin yang merupakan biopolimer alami kedua terbanyak di alam setelah selulosa, yang banyak terdapat pada serangga, krustasea, dan fungi (Sanford dan Hutchings, 1987). Diperkirakan lebih dari 109-1010 ton kitosan diproduksi di alam tiap tahun (Peter, 1997). Sebagai negara maritim, Indonesia sangat berpotensi menghasilkan kitin dan produk turunannya. Limbah cangkang rajungan di Cirebon saja berkisar 10 ton perhari yang berasal dari sekurangnya 20 industri kecil. Kitosan tersebut masih menjadi limbah yang dibuang dan menimbulkan masalah lingkungan ( Meidina , Sugiyono, B. Sri Laksmi Jenie, M.T. Suhartono )

Limbah industri pengalengan rajungan (Portunus pelagicus) adalah berupa cangkang dan kaki rajungan yang mencapai 75%-85%, dapat diolah menjadi kitin dan kitosan dengan rentang pemanfaatan yang luas, yaitu dapat diaplikasikan pada bidang nutrisi, pangan, medis, kosmetik, lingkungan, dan pertanian. Selain itu juga dapat dihasilkan produk turunan dari kitin dan kitosan, yaitu kitooligosakarida yang memiliki aktivitas antimikroba, antijamur, antitumor, penurunan kolesterol, penurunan tekanan darah tinggi dan kemampuan dalam meningkatkan daya imunologi (Suhartono, 2006).

Manfaat

Kitosan mempunyai nilai yang tinggi sebagai bahan baku untuk produksi oligomer kitosan yang dilaporkan dapat berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan bakteri dan jamur (Kendra & Hadwiger, 1984; Tokoro et al., 1988; Hadwiger et al., 1994; Shahidi et al., 1999; Kim et al., 2002), chemopreventive yang potensial (Nam et al., 2000), penghambat sel kanker (Jeong et al., 2000) dan sebagai antitumor (Nam et al., 1999; Jeon & Kim, 2000).

Kitosan dan oligomer kitosan potensial sebagai antimikroba karena senyawa ini merupakan polimer alami sehingga diharapkan aman bagi manusia. Tsai dan Su (1999) menunjukkan adanya efek bakterisidal dari kitosan udang terhadap E. Coli. Tsai et.al (2000) menghasilkan antibakteri kitooligosakarida dengan DP 1-8 yang didegradasi dari kitosan udang menggunakan selulase. Sampai saat ini aktivitas antibakteri oligomer kitosan masih menjadi hal baru yang terus diteliti. Aktivitas antibakteri oligomer kitosan dan kitosan beragam terhadap bakteri uji yang berbeda. Uji menggunakan metode difusi agar menunjukkan penghambatan yang lebih tinggi terhadap gram negatif dan lebih rendah terhadap gram positif untuk oligomer kitosan. Oliomer kitosan memiliki aktivitas antibakteri yang cukup baik terhadap bakteri yang uji.

Limbah industri pengalengan rajungan (Portunus pelagicus) adalah berupa cangkang dan kaki rajungan yang mencapai 75%-85%, dapat diolah menjadi kitin dan kitosan dengan rentang pemanfaatan yang luas, yaitu dapat diaplikasikan pada bidang nutrisi, pangan, medis, kosmetik, lingkungan, dan pertanian. Selain itu juga dapat dihasilkan produk turunan dari kitin dan kitosan, yaitu kitooligosakarida yang memiliki aktivitas antimikroba, antijamur, antitumor, penurunan kolesterol, penurunan tekanan darah tinggi dan kemampuan dalam meningkatkan daya imunologi (Suhartono, 2006).

Pengatasan masalah mikroba yang selama ini dilakukan salah satunya adalah dengan antibiotik. Pada terapi dengan antibio tik, seringkali ditemukan adanya efek samping berupa alergi, masalah toksisitas, hingga terjadinya resistensi pada penggunaan jangka panjang. Maka, diperlukan alternatif antimikroba yang lebih aman yaitu penggunaan kitosan. Selain aman, penggunaan kitosan sebagai antimikroba juga dapat memanfaatkan limbah cangkang rajungan yang jika dibiarkan dapat menjadi sumber penyakit. Penggunaan cangkang rajungan (Portunus pelagicus), bahan alami yang tersedia dalam jumlah besar dalam bentuk limbah sebagai starting material senyawa berpotensi antimikroba yaitu kitosan. Kitosan memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan di Indonesia yang kaya akan sumber daya alam hayati, baik ditinjau dari segi medis maupun ekonomi.




Salah satu limbah yang sangat potensial untuk diolah di Indonesia adalah limbah cangkang rajungan (Portunus pelagicus), yang dapat diolah menjadi kitin dan kitosan dengan rentang pemanfaatan yang luas, dapat diaplikasikan di bidang nutrisi, pangan, medis, kosmetik, lingkungan, dan pertanian (Suhartono, 2006). Dari total 200 kg rajungan yang diolah, sebanyak 150 kg adalah berupa cangkangnya, yang kemudian dibuang (Soesilo dan Budiman, 2003). Dari limbah tersebut, 75-85 persennya dapat diolah menjadi kitin dan kitosan. Sementara itu, permintaan ekspor daging rajungan terus meningkat. BRKP (Badan Riset Kelautan dan Perikanan) menyebutkan bahwa produksi rajungan yang tersebar di Indonesia mencapai 10.886 ton pertahunnya. Selain itu, budidaya rajungan ini relatif mudah dilakukan, tidak sesulit budidaya udang. Dari fakta-fakta di atas, dapat dilihat bahwa melalui karya tulis ini akan didapatkan suatu inovasi pengolahan limbah cangkang rajungan menjadi bentuk sediaan obat kumur dengan potensi yang luar biasa. (Soesilo dan Budiman, 2003)

Kitosan efektif sebagai antimikroba karena sifat-sifat kitosan itu sendiri yang tidak toksik dan alami. Senyawa hasil deasetilasi kitin ini telah terbukti memiliki aktivitas antimikroba dengan indeks penghambatan yang cukup tinggi pada jenis bakteri staphylococcus. Kitosan menunjukkan efek antimikroba yang poten terhadap S. mutans dan penurunan jumlah yang signifikan (Bae, et al., 2005).

Kitosan yang mempunyai aktivitas antimikroba dapat menjadi salah satu alternatif zat aktif. Kitosan memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan tipe antiseptik lainnya, karena memiliki aktivitas antimikroba yang lebih tinggi, spektrum yang lebih luas, killing rate yang lebih tinggi, dan toksisitasnya yang lebih rendah terhadap sel mamalia. Sedangkan kelemahan kitosan adalah ketidaklarutannya dalam air, viskositasnya yang tinggi, dan kecenderungannya untuk berkoagulasi dengan protein pada pH tinggi. Banyak percobaan telah dilakukan untuk mendapatkan turunan fungsionalnya dengan modifikasi kimiawi untuk meningkatkan kelarutannya.






Cara mendapatkan

Proses kimiawi dan enzimatis telah digunakan untuk memproduksi kitosan oligomer. Hidrolisis asam pada kitosan menghasilkan berbagai oligosakarida yang tidak spesifik (Bosso et al., 1986). Alternatif proses secara enzimatis untuk memproduksi kitosan oligomer menggunakan kitosanase telah dilaporkan oleh Hirano (1988). Kitosan oligomer yang dihasilkan adalah dimer sampai heptamer. Proses enzimatis lebih disukai karena ramah lingkungan, hasilnya lebih seragam dan menghasilkan oligomer dengan derajat polimerisasi (DP) yang tinggi seperti pentamer sampai heksamer (Kendra & Kim, 1998).Kitosanase yang berasal dari mikroorganisme mendapatkan perhatian yang khusus karena penting dalam pengaturan keseimbangan lingkungan, daur ulang biomaterial kitin, preparasi enzimatis kitooligosakarida biofungsional, dan untuk kontrol biologi kapang patogen pada tanaman (Kendra et al., 1989).

Senyawa bioaktif oligomer kitosan diproduksi menggunakan kitosanase dari isolat B. licheniformis MB-2. Enzim kitosanase hasil pengendapan amonium sulfat 80% jenuh dengan aktivitas 0,005; 0,0085; 0,1 dan 0,17 Unit ditambahkan pada substrat kitosan dengan derajat deasetilasi minimum 85%, dan diinkubasi pada 700C selama 1, 2, dan 3 jam. Uji aktivitas antibakteri menggunakan metode difusi agar terhadap bakteri patogen menunjukkan hasil yang positif dengan indeks penghambatan berturut-turut: 2,47; 3,23; 3,26; 2,23; 2,3, dan 2,07 untuk Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Salmonella typhimurium, Escherichia coli, Listeria monocytogenes, dan Bacillus cereus. Penghambatan terbaik dihasilkan dari oligomer kitosan yang diproduksi menggunakan enzim dengan aktivitas 0,1 Unit per miligram kitosan untuk semua jenis patogen. Waktu produksi 1, 2, dan 3 jam untuk unit enzim per miligram substrat yang sama tidak menunjukkan perbedaan penghambatan yang signifikan. Analisis HPLC menunjukkan bahwa oligomer kitosan yang dihasilkan dalam penelitian ini terdiri dari monomer sampai hexamer (DP 1-6).

Oligomer kitosan dapat dihasilkan dengan iradiasi sonik, hydrodynamic shearing, dan hidrolisis secara kimiawi. Akan tetapi cara-cara tersebut menghasilkan oligomer dengan derajat polimerisasi (DP) yang rendah karena efisiensi yang rendah dan pemotongan yang acak. Degradasi kitosan secara enzimatis adalah cara yang lebih baik untuk mendapatkan oligomer kitosan dengan derajat polimerisasi yang lebih tinggi.
Beberapa tahun belakangan banyak studi mengenai berbagai enzim yang berbeda untuk mendegradasi kitosan. Aiba (1993; 1994a; 1994b) menghidrolisis kitosan yang terdeasetilasi sebagian menggunakan kitinase dan lisozim. Pantaleone et.al. (1992) dan Brine et.al. () melaporkan hidrolisis kitosan menggunakan berbagai jenis enzim, yaitu glikanase, protease, lipase, dan tannase, yang didapatkan dari berbagai bakteri, fungi, mamalia, dan tanaman. Muzzarelli, Xia, Tomasetti dan Ilari (1995; 1994) menggunakan papain dan lipase untuk depolimerisasi kitosan. Dari berbagai hasil tersebut banyak enzim komersial yang dikembangkan untuk menghasilkan proses hidrolisis yang efisien terhadap kitosan. Akan tetapi penggunaan enzim-enzim tersebut membutuhkan konsentrasi yang relatif tinggi, sedangkan kitosanase menunjukkan aktivitas yang cukup baik pada konsentrasi yang kecil. Di Indonesia, sejumlah bakteri yang mempunyai aktivitas enzim kitinolitik telah diisolasi dari berbagai sumber air panas di daerah Tompasso, Manado. Dari 45 isolat yang didapat, Bacillus licheniformis MB-2 menunjukkan indeks kitinolitik yang terbesar (Jayanti, 2002). Enzim kitosanase yang dihasilkan dari isolat MB-2 tersebut telah dimurnikan dan dikarakterisasi (Chasanah, 2004).

kitosan dalam Limbah industri pengalengan rajungan, Proses isolasinya adalah dengan deproteinasi, demineralisasi, dan depigmentasi cangkang rajungan akan menghasilkan kitin yang memiliki struktur molekul dasar sama dengan kitosan, kemudian dideasetilasi menghasilkan kitosan. Kitosan yang merupakan biopolimer hidrofilik yang didapatkan melalui proses deasetilasi basa kitin telah terbukti memiliki aktivitas antimikroba. Kelebihannya jika dibandingkan dengan tipe antiseptik lain adalah aktivitas antimikroba yang lebih tinggi, spektrum yang lebih luas, killing rate yang lebih tinggi, dan toksisitas yang lebih rendah terhadap sel mamalia. Mekanisme utamanya adalah dengan mengubah permeabilitas membran, sehingga terjadi kebocoran komponen dan konstituen intraseluler mikroba.

Kitosan, ß-1,4-poli-D-glukosamin, merupakan biopolimer yang didapatkan melalui proses deasetilasi basa kitin, mengandung lebih dari 5000 unit glukosamin (Rabea, et al., 2003). Kerangka glukosamin yang didapatkan dari proses N-deasetilasi menyebabkan kitosan memiliki karakter polikationik (Sano, et al., 2002). Sedangkan kitin adalah biopolimer yang menyusun cangkang crustaceae, insecta, dan terdapat dalam dinding sel jamur dan yeast. Secara kimiawi, kitin merupakan polimer poli-ß-1,4-asetil diglukosamin (Karlson, 1984).
Delapan puluh persen dari massa total eksoskeleton udangudangan merupakan kitin (Schlaak and Lindenthal, 2000). Kitosan dibedakan dari kitin karena adanya gugus amino bebas (Schlaak and Lindenthal, 2000) yang reaktif (Rabea, et al., 2003). Kitin alami memiliki BM 1-2 juta Da, terdiri atas 6000-12000 unit monosakarida. Sedang BM kitosan relatif lebih rendah, sebab terjadi pemisahan rantai selama proses transformasi (Schlaak and Lindenthal, 2000).
Gambar 1. Struktur chitobiose, monomer kitin
(Karlson, 1984)
Gambar 2. Struktur kitin
(Rabea, et al., 2003)
Gambar 3. Struktur kitosan
(Rabea, et al., 2003)
Adanya gugus amino menyebabkan kitosan bermuatan positif dan sangat mudah berikatan dengan permukaan yang bermuatan negatif seperti membran mukosa. Kitosan bersifat biocompatible dan biodegradable, bahkan termasuk senyawa biodegradable paling melimpah di bumi, hasil biodegradasinya terdapat di air dan tanah. Kitosan dikarakterisasi berdasarkan derajat deasetilasinya (%DA), kemurniannya setelah dilarutkan dalam asam organik, derajat polimerisasi, dan BMnya (Schlaak and Lindenthal, 2000). Semakin tinggi derajat deasetilasi, semakin tinggi kualitas dan harga jualnya (Coma et al., 2002).
Kitosan bekerja sebagai antimikroba dengan mekanisme mengubah permeabilitas membran sel. Interaksi antara kitosan yang bermuatan positif dengan membran sel yang bermuatan negatif pada kadar rendah menyebabkan aglutinasi. Sedangkan pada kadar tinggi, hal tersebut akan menyebabkan permukaan mikroba bermuatan positif, sehingga tetap ada dalam bentuk suspensi. Hal ini kemudian menyebabkan terjadinya defisiensi protein dan konstituen-konstituen intraseluler lainnya. Selain itu, jika telah 13 berhasil menembus dinding sel mikroba, kitosan dapat berikatan dengan DNA dan menghambat sintesis mRNA dengan jalan berpenetrasi hingga mencapai nukleus dan mengganggu sintesis RNA serta protein. (Rabea, et al., 2003)

Mekanisme lain dari efek antimikroba kitosan dapat dijelaskan dengan kemiripan struktur kitosan dan murein yang merupakan penyusun dinding sel mikroba. Kitosan akan bersaing dengan mikroba untuk dapat menempel pada tempat perlekatannya pada gigi. Murein merupakan peptidoglikan yang menyusun 90% dari total berat kering dinding sel bakteri gram positif, setebal 20-80 nm, dan 10% dari total berat kering dinding sel bakteri gram negatif, setebal 7-8 nm (Demchick and Koch, 1996). S. mutans adalah bakteri gram positif, sehingga kitosan bisa menjadi antimikroba yang efektif untuk mikroba tersebut. Kitosan oligomerik dapat berpenetrasi ke dalam sel mikroorganisme dan mencegah pertumbuhan sel dengan mencegah transformasi DNA ke RNA. Selain itu, penghilangan metal, trace element, atau nutrien esensial dengan aksi pengkhelatnya juga menjadi salah satu mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroba.












Daftar Pustaka


http://profetikfa.files.wordpress.com/2009/11/lktm-pimfi-2009.pdf

http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2207161169.pdf

http://www.bbrp2b.dkp.go.id/publikasi/lain/JPBKP%202006%20No%201/6.pdf

http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40766/1/Cover%202006swa.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar